"Bukan
soal apakah ia (merah putih) robek semata,
tapi makna
bahwa langit kemerdekaan
belum pernah
menaungi mereka
"(Kahar
Al –Gifary)
Bastem dan Bastem Utara merupakan dua
kecamatan yang berada di daerah kaki gunung latimojong ditanah Luwu, dikenal
sebagai daerah yang memiliki pemandangan yang cukup menakjubkan, disana riak
air sungai terdengar keras melewati bebatuan sementara pepohonan masih tumbuh
rimbun secara bebas, sebuah keindahan, secara sadar keindahan alam belumlah
seindah pembangunan manusianya, sebab ternyata anak-anak di Bastem dan Bastem
Utara tak mendapatkan pelayanan pendidikan yang sepatutnya, asumsi bahwa
keadilan memang sering terpinggirkan dari masyarakat terpencil terjawab secara
jelas. Alam yang indah adalah anugrah Tuhan sementara perbaikan manusia adalah
kerja manusia, sistem dan pemerintah.
Kenyataan itu membuat kita sulit untuk
mengatakan bahwa selama ini telah terjadi pemerataan kualitas pendidkan ditanah
Luwu, terkhusus di tanah Bastem, Bastem Utara, Pemerintah boleh berbangga
dengan visi dalam RPJMD yang di akhir Tahun 2014 lalu telah melewati pengesahan
bersama DPRD Kabupaten Luwu dimana Visi RPJMD sebelumnya seolah telah menunjukkan
hasil yang begitu luar biasa sehingga Visi RPJMD untuk Tahun 2014-2019 cukup
menambahkan kata “lebih” pada visi tersebut menjadi “Terwujudnya Kabupaten Luwu Yang “Lebih”
Maju, Madiri, Mampu Bersaing Dan Bernuansa Religius”.
Visi tanpa evaluasi mungkin itulah yang
menjadi gambaran ketika sebuah fakta perjalanan panjang pembanguan menjejali
mata masyarakat, sebuah seremonial gagasan untuk memenuhi kebutuhan penyusunan
anggaran, sebuah bayang-bayang kepalsuan dimana keadilan seolah hadir semata
dalam bujuk rayu kata yang berderet rapi di kertas-kertas kekuasaan namun pada
kenyataannya harus melahirkan sebuah ironi pendidikan yang begitu memilukan.
Adalah wajah
pendidikan di tanah Bastem yang begitu mencengangkan bahkan melampaui
sebuah kekagetan biasa, di daerah yang
memiliki pemandangan yang indah ternyata wajah pendidikan yang dipertontonkan
“sebagian” manusia yang melabeli dirinya sebagai pendidik jauh dari rajutan
asa, nampak secara nyata dilapangan kebanyakan pendidik kehilangan kebeningan
tujuan berbangsa, sekolah bukan lagi ruang pengemban misi sosial kemanusiaan
dalam mencerdaskan anak bangsa.
Hampir semua anak bastem belum mengenyam
keadilan dalam dunia pendidikan, padahal dalam misi agung Undang-Undang Dasar 1945 telah menyatakan dan
mensyratkan secara jelas bahwa salah satu tujuan bernegara adalah
"Mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia", jika melihat apa yang terjadi di Bastem maka
kita akan bertanya peran negara sebenarnya berada dimana, padahal jhon locke
dan montesque telah jauh sebelumnya memberikan wejangannya tentang fungsi
negara dalam ruang separation powernya tentang bagaimana peran-peran lembaga
kekuasaan dalam bernegara.
Kodisi ini merupakan Bencana terbesar bagi
masyarakat bastem dan batem utara sebab bagunan awal peradaban yang dinamai
pendidikan telah mengalami kompleksitas masalah yang begitu akut, nampak pendidikan bukan lagi
menjadi pondasi awal untuk membangun sumber daya manusia sehingga jangan kan membangun harapan akan perubahan
yang lebih baik, memimpikannya pun hanyalah sebuah fatamorgana, sebuah
kenyataan yang harus kita lihat bahwa pendidikan yang sering diagungkan untuk
melakukan perbaikan kualitas sumber daya manusia dalam faktanya tidak lah
selalu demikian
Bencana yang melanda pendidikan di tanah
Bastem dan Bastem Utara adalah sebuah ironi yang dibangun oleh pemerintah, sehingga membuat hal tersebut
telah berlangsung cukup lama, sebuah kondisi jika semua orang melihatnya secara
langsung akan bertanya, apakah ini sebuah kenyataan, ditengah kebanggaan
pembangunan sumber daya manusia yang di klaim telah mengalami perbaikan luar
biasa di tanah Bastem, sehingga RPJMD 5 Tahunan pemerintah kabupaten Luwu di
periode pertama tinggal ditambahi kata lebih yakni “Terwujudnya Kabupaten Luwu
Yang lebih Maju, Madiri, Mampu Bersaing Dan Bernuansa Religius”.??
Terwujudnya
Pengabaian Pendidikan
Pengabaian terhadap kondisi pendidikan di
tanah bastem bengitu nyata, hasil investigasi yang dilakukan dari
sekolah-ke-sekolah menampakkan wajah pelayanan pendidikan yang sungguh sangat
jauh dari impian, bayangan bahwa pendidikan
sebagai ruang menata pola pikir anak-anak bangsa tidak tampak, anak-anak
sekolah yang harus rela menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan pengetahuan
tapi tak mendapatkan apa-apa selain dari lebih banyak mengalami kelelahan, yang
berujung pada sebuah pertanyaan benarkah pendidikan itu diciptakan untuk
mencerdaskan kehidupan anak bangsa ataukah malah sebaliknya
Keresahan yang sudah begitu lama dimasyarakat
tersebut nampaknya tidak mampu dijembatani dan diselesaikan oleh anggota DPRD luwu dan pemerintah
Kabupaten Luwu dibawah kepemimpinan Andi Mudzakkar, sehingga menyebabkan hal
tersebut berlangsung semakin memprihatinkan, ada dosa demokrasi, dosa kolektif
atas panggung ironi yang diciptakan oleh kekuasaan, anak-anak dan orang tua
siswa nyata memasuki ruang ketidak adilan dan memuspus harapan mereka.
Dari beragam permasalahan tersebut, beberapa
pesoalan mencuat bahwa sebagaian kepala sekolah di sekolah-sekolah yang ada di
Bastem berdomisili diluar Bastem , sehingga ada yang hanya masuk sekali dalam
setahun, ada Sekolah Dasar yang hanya memiliki 1 tenaga pengajar dan harus
menghadapi siswa 6 kelas, ada honorer yang selama 2 Tahun lebih tak pernah
masuk padahal masuk dalam kategori 2, dari hasil investigasi dijumpai
sebagian tenaga honorer yang aktif hanya mendapat honor mengajar yang sangat
tidak layak, ada juga beberapa orang yang jarang masuk sekolah, dan berdomisili diluar Bastem dan Bastem Utara
namun mendapat tunjangan terpencil, kondisi ini membuat proses pendidikan
berjalan sangat tidak normal, anak-anak bangsa di Tanah Bastem dan Bastem lagi
menemukan ruang kelas sebagai ruang merawat dan menata harapan di masa yang
akan datang.
Menyelamatkan
Anak Bangsa
Mengapa maslah pendidikan di Bastem dan
Bastem Utara menjadi sebuah benang kusut bertahun-tahun, setidaknya ada beberapa
faktor yang membuat hal tersebut terjadi, faktor utama yang patut dijadikan
penyebabnya adalah adanya pengelolaan pendidikan ditanah bastem yang
benar-benar tidak tersistem. Pemerintah dan Anggota DPRD Kabupaten Luwu belum
pernah merancang sebuah aturan daerah untuk menyelamatkan dan menata pendidikan
ditanah bastem agar ruang keadilan pendidikan benar-benar dapat
terdistribusikan kepada masyarakat Bastem dan Bastem Utara.
Faktor ke-dua adalah pemberian honorer serta
tunjangan daerah terpencil yang tidak memuat rasa keadilan, banyak yang
mendapat tunjangan daerah terpencil padahal mereka adalah tenaga pengajar yang
jarang masuk mengajar. Sementara sebagian honorer yang aktif dan mencoba
bertahan mengabdikan ilmunya harus
tersisih dari hak-hak yang mestinya
mereka dapatkan, mungkin benar ”keadilan” hanya berlaku bagi mereka yang dekat
dengan kekuasaan.
Atas permasalahan tersebut Pemerintah Daerah
Luwu dengan pihak Legislatif harus menyelesaikan permasalahan pendidikan
ditanah Bastem dengan melakukan telaah mendalam lalu mengeluarkan kebijakan
daerah yang mampu memberi solusi atas ironi pendidikan di Tanah Bastem dan
Bastem Utara, kita berharap ada kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah
terkait kontrak tenaga Honorer di Tanah Bastem dan Bastem Utara , peran Perda
ini sangat diharapkan sebagai bagian dari perangkat hukum yang mengikat setiap
pendidik sehingga berujung pada kepastian pelayanan pendidikan, kepastian
harapan, serta kepastian bahwa mereka masih tetap diperdulikan oleh Negara.
Oleh: Kahar
Al-Gifary (Kord. Divisi Hukum dan
Pendidikan PABLIK Luwu Raya)
0 komentar:
Posting Komentar